AZAB DAN SENGSARA
Karya :Merari Siregar
Azab dan sengsara merupakan salalah satu dari karya
Merari Siregar yang kisah sangat populer pada Zamannya,tepatnya pada priode
balai pustaka, Azab dan sengsara juga merupakan novel yang laris , karena
kisahnya perjuangan cintanya yang menarik.
Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan
dalam hubungan nya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang baru.
Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka-yang umumnya menggunakan bahasa
Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar-juga banyak yang bertema demikian. Novel
bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngora (Racun Bagi Kaum Muda; 1914) karya
D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai Pustaka, juga bertema
perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga. Jadi, secara
tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah secara tajam mempermasalahkan
perkawinan dalam hubungannya dengan adat.
Ini ringkasannya
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas,
seorang kepala kampong yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat
disekitar Sipirok amat segan dan hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin,
yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah
Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya.
Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh
miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.
Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu
tidaklah menghalanginya unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang
sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa
terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka
sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji
hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu
akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin
segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin
ke Medan.
Berita itu tentu saja amat
menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu berharap agar
kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup
bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula
kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun,
almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya
kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai
salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.
Namun, lain halnya pertimbangan Baginda
Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin
agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih
pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu,
jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan
merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas
bermaksud menggagalkan niat putranya.
Untuk tidak menyakiti hati istrinya,
Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib
anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda
Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu
memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin.
Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika
kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima
apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya
meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat
dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama
sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh
harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin
mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke
Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita Aminuddin setelah
membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia
membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian
hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan
seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia
harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat
apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung
dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia
mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja
sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit
sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah peristiwa itu, atas
kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki
yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun
seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum
beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu
Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui
bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini
Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke
Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya
ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan
hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya
ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran
dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan
Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak
segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga
yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana
lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa
prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin
mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa
istrinya sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam
Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada
polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan
sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Janda Mariamin akhirnya terpaksa
kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaay yang
silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan
sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar
itu.” (hlm. 163).
***
0 komentar:
Posting Komentar